Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 17 Juni 2016

Musuh Terbesar Budaya Urban Farming Di Surabaya, Curcol Emak-Emak Yang Hobby Berkebun

Kebahagiaan terbesar seorang petani, dimanapun berada adalah ketika melihat tanamannya tumbuh, berbuah, dan kemudian endingnya siap panen.  Atau kalau anda nggak gaptek-gaptek amat, minimal siap dipamerkan ke seantero Facebook, meski itu hanya berupa sebiji terong atau segenggam cabe yang tumbuh di halaman sendiri. Benar nggak, Bunda?
Di Surabaya, dengan memiliki walikota yang sangat cinta tanaman, dan kebetulan sangat dicintai warganya, kebiasaan berkebun terpupuk dengan baik. Kalau anda ikut lomba seperti Surabaya Green And Clean, atau Surabaya Merdeka Dari Sampah, anda akan diberi panduan menata halaman rumah anda, sehingga masuk kategori lingkungan yang layak huni.
Masing-masing halaman (atau dalam kasus RT saya berupa pinggir jalan depan rumah hehehehe) harus memiliki tanaman peneduh misalnya sawo, jambu, sukun, nangka, atau tanaman sejuta umat - mangga, tanaman herbal misalnya empon-empon, mangkokan, pandan, lidah buaya, melati, kemudian tanaman sayur meliputi cabe, tomat, kacang, kangkung dan tentu saja tanaman hias.

Maka di lingkungan kami, hampir semua RT penuh dengan pepohonan. Begitu asrinya halaman depan rumah kami, sampai suatu saat ketika fotonya kuposting di forum internasional, banyak yang komentar bahwa tempat tinggal kami, "Just like in paradize." (Siap-siap beli helm baru :D ) 
Tapi jangan salah sangka. Menciptakan "surga" di lingkungan sendiri tidak semudah menggali tanah, menancapkan sebatang pohon, memotretnya lalu memamerkannya di facebook. Banyak sekali sakit hati dan jatuh bangunnya. Alias banyak sekali hambatannya.

Mulai dari vandalisme yang dilakukan oleh anak-anak kecil (termasuk anak sendiri) yang suka menyobek tanaman ketika lewat, menabrak pot dengan sepedanya ketika jatuh, atau memetik buah tomat atau delima yang masak saja belum, kemudian dibuangnya begitu saja di pinggir jalan #ngelus dada.

Dan yang namanya pest alias hama bisa meliputi apa saja. Belalang yang terlalu cantik untuk dibuang, ulat hijau sebesar jempol yang terlalu sayang untuk dibunuh karena sebentar lagi akan jadi kepompong, dan tikus-tikus kota yang memakan apa saja, sangat PD dan tidak takut apa saja. Oh ya, jangan lupa sama kucing piaraan sendiri yang berlari kesana kemari menendang pot isi kencur, memanjat pohon mangga  dan merusak tanaman anggrek dalam prosesnya, bahkan kejar-kejaran naik turun pohon  dan menjatuhkan pot tetangga.

 Ini adalah salah satu hama yang tidak akan mempan pestisida. Sedianya dipelihara supaya tikus tidak merajalela, tapi apadaya dia sudah tidak paham akan makananan alaminya. Jadilah ketika tikus memakan tunas temu kunci, tunas cabe, kunyit dan sebagainya, mereka girang bukan buatan.
Maka beramai-ramailah para kucing songong ini menontoni si tikus merajalela, serasa melihat film box office saja.

Alhamdulillah sejauh ini para Ibu aktifis lingkungan Surabaya tidak pernah putus asa. Nyatanya setiap gang di lingkungan kami tetap penuh tanaman, mereka juga telaten menegur siapa saja yang membuang sampah sembarangan, "Le, bungkus jajane dibuang nang tempat sampah, aja dibuang nang latare tanggane. tak laporno Pak RT koen!!"

"Mbak Idaaa, kancil nyeblokne pot.....!!!!" atau sekedar mengusir ayam blok lain yang merusak tanaman tetangga. Sungguh kekompakan yang menentramkan hati. Sedemikian kuat kami saling menjaga, bahkan siap menyirami tanaman tetangga yang lagi pulang kampung, atau sakit dan dirawat di rumah anaknya

Jadi alih-alih membuat spanduk yang mengecam perusakan lingkungan entah dimana, kami berbuat nyata di rumah kami sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About