Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 12 Juni 2016

Cinta Ibu Diuji Saat Penerimaan Raport????

Bayangkan saja, setelah seminggu dua minggu begitu tegangnya seorang ibu, (sengaja) lupa masak, lupa nyuci, lupa bersih-bersih rumah, hanya demi mempersiapkan anak-anaknya yang mau ujian. Sang Ibu berburu soal kemana-mana, kesana-kemari mencarikan pinjaman catatan yang kurang lengkap, belum lagi mendrill soal. Kemudian saat penerimaan raport, terbayarkah segala jerih payah itu?
Jawabannya akan sangat relatif. Ibu-ibu yang beruntung dikaruniai anak-anak yang cerdas mungkin merasa terbayar. Anak-anaknya mendapat nilai cemerlang, wali kelas memuji, masuk kategori siswa teladan. Betapa bangganya!!!!!

Sayangnya tidak semua orang diuji dengan hal-hal yang enak seperti itu. Ada Ibu yang dikaruniai anak penurut, sangat santun, bisa berteman dengan siapa saja, tapi kemampuan otaknya pas-pasan. Tak peduli seberapa keras seorang ibu mempersiapkan anaknya, nilainya ya.......begitulah........tak bisa berharap banyak. :sigh

Atau anak-anak yang sebenarnya cerdas luar biasa, tapi sayang sekali kecerdasannya tidak berkaitan dengan pelajaran sekolah misalnya. Sehingga seorang ibu harus mencari, menggali bahkan mengais-ngais sisa kebanggaan dalam dirinya.

Kenyataan itu diperparah ketika sekolah menuntut semua muridnya mendapatkan nilai bagus. Pokoknya semua mata pelajaran harus bagus!!!!! Kewajiban siswa adalah belajar dengan baik sehingga hasil ujiannya semua baik. Tak peduli Pak Guru/Bu Guru hanya mampu mengajar satu pelajaran saja, kewajiban anak adalah menguasai semua mata pelajaran.

"Ananda nilai matematikanya agak di bawah rata-rata, mohon ditingkatkan."

"Ananda kurang memahami soal IPA, dan tidak suka mengerjakan latihan soal. Mohon diperbaiki di rumah."

Maka jadilah kita para Ibu orang paling stress sedunia. Kurang apa coba???!!!! berbagai macam soal sudah kita upayakan, kenapa anak kita dianggap belum paham???

Maka ketika terima raport anak-anak kita, sudah sepatutnya kita bertanya, "Benarkah kita mencintai anak kita apa adanya, seperti yang kita ikrarkan selama ini?"

Ataukah cinta kita adalah cinta yang penuh syarat, tergantung nilai IPA, tergantung hafalan qur'an dapat juz berapa, tergantung rapi tidaknya cara anak kita mewarnai gambarnya?
Akankah cinta dan kasih sayang kita langsung terkikis oleh komentar gurunya, bahwa "Si Ananda kurang paham dalam mata pelajaran A?"

Tugas guru memang memotivasi anak-anak muridnya. Tapi bisa saja niat memotivasi itu justru membuat anak tertekan dan merasa tidak diterima apa adanya. Dan beramai-ramailah kita menjadi Helicopter parent, karena tuntutan sekolah anak-anak kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About