Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 16 Juni 2016

Mendamaikan Hati Anak-Anak "Indigo"

"Om, itu kenapa ada ikan yang cuman tulang doang? Emangnya bisa hidup?"
"Mana sih Mbak Eying, Om nggak liat?"
"Itu lho..... yang cuman duri-duri!" Si Om terdiam sebentar, terus cari cara untuk ngacir terbirit-birit, "Bentar ya, tak tanyain Om Nur dulu." Dan bukannya mencari "Om Nur" seperti yang dijanjikan, si Om dengan muka pucat menghampiri emak si anak, "Mbak, kae anakmu weruh apa aku ra ngerti. Gek urusana." Hahahahaha

Itu adalah sepenggal pengalaman kami memiliki Eying selama ini. Dan itu bukan pertama kali terjadi, dan sepertinya juga bukan yang terakhir. Aku masih ingat ketika dia kelas 1, sepulang sekolah dia bercerita, "Tadi aku pas sholat dhuhur kok merasa banyak yang ikut sholat di belakangku ya?"

"Maksudmu teman-temanmu?" tanyaku. "Bukaaan, sholatnya bergiliran lima lima, tapi dibelakangku buanyak yang ikut sholat."

Lain kali ketika kami pergi ke Blitar, ketika sampai Kediri dia cerita bahwa di atas gerbang masuk Kabupaten dia melihat sesorang yang terluka lalu pingsan. Wajahnya pucat pasi dan sangat ketakutan. Tapi itu bukan seberapa. Ketika bermain-main dengan sepupunya, sehabis magrib, dia memelukku dan menangis histeris. Katanya dia melihat orang berkepala kerbau menyeberang halaman rumah orang tua kami.

Tapi tidak semua yang ia lihat menakutkan dan menyeramkan. Pernah juga dia melihat perempuan berjilbab putih di depan Lab sekolahnya. Perempuan tanpa wajah yang membuatnya ketakutan berhari-hari setiap melewati Lab sekolahnya.

Apa yang harus kita lakukan? Saya pribadi butuh 3 tahun untuk menyelesaikan masalah Eying. Ketika gejala muncul di permukaan awal-awal kelas 1 dulu, aku sempat mengabaikannya. Tapi ketika dia berkali-kali ketakutan dan sedih, akhirnya kami memutuskan untuk berbicara dengan guru BKnya di sekolah. Seorang teman baik merangkap tetangga (thanks, Bunda Ega atas bantuannya) ikut membantunya mengatasi rasa takutnya.

Dan ternyata kuncinya sederhana. alih-alih berusaha membuatnya seolah-olah semua itu halusinasi, beberapa pihak yang memiliki pengalaman sama menyarankan pada Eying untuk menerima semua itu dan menghadapi ketakutannya. 

Ketika Eying menyadari bahwa dia tidak sendiri, semangatnya mulai tumbuh. Dia tetap bercerita ketika melihat  atau mendengar sesuatu yang tidak lazim, "Aku denger suara ular mendesis di gangnya Bu Nia." 

"Apa sih Mbak Eying?" Tanya adik ipar ketika kami pulang dari Pacitan, dan berhenti sejenak di Ponorogo. "Di sana ada ayam berkepala anjing." "Apa maksudnya?" 

Kadang-kadang, dia mengalami "sesuatu" bersama dengan teman sekelasnya.
"Awalnya Ziza menangis karena lihat kayak bayangan ungu tua di dekat AC, terus aku lihat dalamnya mulut orang di cermin, padahal nggak ada siapa-siapa di belakangku. Karena Ziza nangis, teman-temanku bermaksud mengusirnya, yang deket AC disodok pakai sapu. terus temanku yang nyidik itu kesurupan. Sama zhafran terus dibacain Alfatihah, terus anaknya sembuh."

"Ya kalau kejadiannya di kelas, pas gurunya nggak ada, ya jangan ditangani sendiri. Panggil Ustad atau Ustadzah ke ruang guru. Atau kalau terlalu jauh, masuk ruang kelas terdekat dan minta tolong guru yang ada."
"Gak ada yang kepikir gitu, Mom." Yaaaah

Jadi, Bunda, ketika kita punya anak dengan spesialisasi seperti itu, sebisa mungkin ajak dia berbicara dengan orang yang punya pengalaman serupa. Tapi pastikan dulu bahwa orang yang kita ajak bicara adalah orang yang lurus agamanya, supaya tidak terjerat pada perilaku syirik. Saya sangat beruntung punya teman-teman seperti itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About