Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 01 Juni 2016

Pacitan, Kota Kecil Yang Menolak Terisolasi

15 tahun yang lalu, pemandangan dermaga berair jernih penuh dengan kapal berbagai ukuran seperti di foto ini tidak pernash terbayang di benak saya. Yang ada hanyalah perahu kecil berbahan kayu yang dibawa oleh nelayan tradisional mengitari Teluk Teleng dan sekitarnya. Konon para nelayang jarang berani ke lepas pantai - Samudra Hindia dengan ombak raksasanya karena terlalu berbahaya.

Tapi lihatlah sekarang, kapal-kapal nelayan berbagai ukuran bersandar di dekat Tempat pelelangan Ikan yang baru dibangun, lengkap dengan dermaga yang juga baru dibangun. Jangan bayangkan pemandangannya mirip dengan pantai Lama Kenjeran dimana air laut berwarna kecoklatan penuh dengan sampah plastik terbawa gelombang ke pantai, atau sandal jepit, atau berbagai macam kain. Pantainya tetap menampilkan kejernihan khas pantai selatan yang belum terlalu banyak kena polusi, dalam versi yang lebih modern.

15 Tahun yang lalu, jalur Ponorogo-Pacitan, satu-satunya akses masuk ke kota itu, berupa jalan sempit yang hanya muat dilalui satu bis/kendaraan roda 4 lainnya. Kalau dua kendaraan bersimpangan dari arah berlawanan, salah satu harus mengalah, mundur mencari space yang cukup untuk berhenti sebentar dan membiarkan mobil lain lewat. 
Harus begitu. Tidak ada pilihan untuk memaksa orang lain mengalah, kecuali anda ingin kendaraan anda masuk jurang persis di samping anda. Atau kendaraan lain menabrak tebing di sampingnya dan memicu kelongsoran.

Tapi sekarang tidak lagi. Tebing dipangkas untuk memperlebar jalan, aspal dijaga supaya tetap mulus sepanjang tahun, alat berat seperti eskavator, loader dan pemadan jalan siaga di setiap tempat mengantisipasi kelongsoran jurang dan tebing setiap saat, terutama saat musim hujan. 

 
Jalur Lintas Selatan dibangun sebagai akses jalan masuk yang lain. Sama mulusnya meski jalurnya jauh lebih seram dibanding jalur Ponorogo-Pacitan. Dengan pemandangan yang jauh lebih indah pula, karena kita bisa menjumpai banyak pantai berair jenih disisi jalan, pantai selatan yang menghadap Samudra Hindia.




Salah satu pemandangan di pinggir jalan Jalur Lintas Selatan 


Pacitan menolak terisolasasi selamanya, dan menolak menderita selamanya. Dermaga baru yang lebih besar dibangun supaya kapal-kapal ukuran lebih besar bisa masuk, kapal-kapal nelayang dibuat lebih modern supaya  nelayan berani mencari ikan di lepas pantai.
Dan untuk mengantisipasi melimpahnya hasil laut, dibangunlah pabrik-pabrik pengolahan ikan. Maka ketika anda pergi ke pacitan, tidak cuma Dodol Pacitan yang terkenal lezat itu yang bisa anda bawa, tapi anda bisa membawa pulang sosis tuna, nugget tuna pedas, tahu isi tuna, bakso tuna dan lain-lain dengan bumbu yang lebih khas Indonesia dan lebih berasa. 

Seperti halnya daerah pegunungan kapur Selatan Jawa lainnya, Pacitan juga kota penghasil singkong berkualitas tinggi. Dan dalam hal mengangkat martabat makanan asli Indonesia ini, Pacitan berhasil melakukannya dengan sangat baik. Nasi thiwul yang dulu identik dengan makanan rakyat jelata kelas bawah yang tak mampu beli beras, kini baik pangkat menjadi makanan eksotis ditemani berbagai sayur dan berbagai jenis ikan sebagai pelengkap. 

Melimpahnya produksi dingkong juga disiasati dengan mengolahnya sebagai oleh-oleh khas Pacitan seperti keripik, kolong, glithi (balung kuwuk/balung kethek) dan sebagainya. Pisang yang ketika panen nyaris tak ada harganya disulap menjadi sale pisang berbagai bentuk dan desain yang membuat mupeng mata para wisatawan. Jadi jangan heran jika dari 1 toko saja berhasil meraih omzet 25 jt per hari selama hari raya. 


Salah satu koleksi batuan di museum geologi pacitan, yang menunjukkan bahwa di masa lalu Pacitan merupakan dasar laut, karena batu karang ini ditemukan di salah satu puncak bukit disana.



Dan batu-batuan pacitan yang selalu mempesona ketika kita melewati tebing-tebingnya kini dituangkan dalam sebuah museum arkeologi di Pantai Pancer Door. Dari sini kita jadi tahu bahwa  kota yang paling terisolir di Jawa Timur ini sudah dihuni oleh manusia sejak jaman Paleolitikum 1.8 juta tahun yang lalu. Dan kini Pacitan yang menolak terisolasi mulai bangkit mengucapkan selamat datang pada dunia. Seperti para bule yang berselancar di pantai-pantainya di pagi buta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About