Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 18 Oktober 2015

Didikan Salah Kaprah Orang Tua Kita

 "Le, awakmu suk yen golek bojo, ora usah golek sing ayu apa sing sugih. Goleka bocah wadon sing nurut, nrima, gelem dijak rekasa. Jaman saiki golek bojo sing gelem urip apa nane ki angel."
"Nak, kamu nanti kalau mencari istri, tidak perlu memilih yang cantik atau kaya. Yang penting cari istri yang penurut, mau menerima apa adanya, dan mau diajak hidup susah."


Begitulah nasehat orang tua yang diberikan kepada anak laki-laki di tempat kelahiranku. Kini setelah menjadi orang tua dari 2 anak perempuan, aku jadi lebih sering merenungkan makna nasehat itu. Kubayangkan seandainya ada laki-laki menanyai anak gadisku seperti itu.

" Aku cari istri yang penurut, nrima, dan mau diajak susah. Maukah kau jadi istriku?" Aku membayangkan semisal pertanyaan itu ditujukan kepada Una. Kubayangkan matanya yang bulat semakin membulat, dan roda-roda di dalam otak di bawah rambut kriwelnya berputar, kejutan-kejutan listrik kecil berseliweran di sekitarnya. Apa responnya? Akan sangat mudah dibayangkan:

"Kenapa kamu mengajak orang lain hidup susah? Emang susahnya segimana? Nrima itu apa? Aku ngerti bersyukur itu apa, tapi nrima itu kayak gimana? Kenapa kamu kasih nafkahnya kurang? Emang ga bisa cari nafkah lebih? Emang ga ada cara lain? Aku kalau disuruh jadi penurut ya liat-liat dulu, argumentasimu masuk akal apa enggak? Orang tuaku aja kalau bikin peraturan harus masuk akal kok!"

Atau mungkin seandainya hal itu ditanyakan pada Eying - setidaknya dia 'kelihatan' nggak segalak dan sedominan Una. Mungkin jawabnya gini, "Jadi niatmu menikah biar bisa ngajak istri hidup susah? Kenapa kamu memilih hidup susah kalau kamu bisa memilih hidup bahagia? Punya pertanyaan kok aneh."

Seandainya aku mendengar langsung pertanyaan itu apa yang kurasakan? Bagaimana reaksiku? Aku bukanlah orang yang suka memanjakan anak. Kami tidak pernah menghujani mereka dengan kemewahan. Kami ajarkan tanggung jawab, mereka punya tugas yang harus diselesaikan di rumah meski meraka sekolah Full day.

Mereka wajib membereskan kamar, mainan dan kertas-kertas belajar mereka sendiri. Mereka wajib mencuci perabot sebelum berangkat sekolah. Mereka mendapat tugas memberi makan kucing setiap pagi dan sore,  dan menyirami tanaman setiap sore. Intinya, mereka bukanlah anak-anak yang tidak terbiasa hidup sengsara.

Tapi ketika misal ada  laki-laki yang meminang mereka dengan niatan mengajak hidup susah, alih-alih membahagiakan mereka, relakah kita? Memang benar bahwa seorang istri harus bersyukur dengan nafkah yang diberikan oleh suami mereka. Tapi realistis sajalah, ada yang namanya kebutuhan dasar. Butuh membayar listrik, biaya sekolah anak - bahkan meskipun anak-anak kita sekolah di Sekolah Negeri yang konon katanya gratis. Biaya membeli/menyewa rumah, belum lagi biaya makan sehari-hari. Oke, kita harus mensyukuri nafkah suami. Kalau kurang bagaimana? 

Bayangkan misalnya suami memberi nafkah pada istrinya untuk hari itu dan bilang, "Sayang, ini jatah belanja hari ini, harus cukup. Jangan boros." Misalkan kebetulan hari itu waktunya membayar listrik, dan anak-anak perlu mengerjakan tugas pakai internet. Masak suami akan tetap bilang, "Ya nggak mau tahu, harus cukup." Atau mungkin bilang, "Bisaku kasih nafkah segini, kalau kurang sisanya cari sendiri." 

Itu baru menyangkut materi. Padahal nafkah bukan sekedar itu. Dan ketika suami memberi nafkah batin bukan sekedar bermakna seksual, tapi juga bermakna intelektual dimana dia harus mendidik istrinya, menjalin persahabatan dengan istrinya, memberikan perhatian, kasih sayang, bahkan perlindungan.

Rasanya akakn sangat lucu kalau suami kembali mengatakan, "Bisaku ya cuman mengajarimu gini ini, kamu harus bersyukur." Gimana kalau ternyata istrinya punya kecerdasan tinggi dan haus belajar.  Langkah apa yang harus dilakukan supaya istri tidak merasa tersia-siakan potensinya? Apa yang akan dilakukan suami ketika tiba-tiba istri mengajaknya diskusi tentang sejarah Persia Kuno dan pengaruhnya terhadap peradapan dunia? Masak langsung melabeli istri dengan sebutan "keminter"? 

Kita sebagai orang tua tidak bisa lagi menyuruh anak kita mencari istri yang mau diajak susah, karena tidak akan ada orang tua yang rela anak perempuannya hidup susah. Kita tak bisa lagi melarang anak-anak kita mencari istri yang pintar karena kuatir sang istri ngeyelan, banyak menuntut dan tidak bisa menghargai suami. 

Kita perlu menuntut anak kita untuk mengambil tanggung jawab penuh atas kesejahteraan dan kebahagiaan istri, anak-anak dan orang tuanya. Akan lebih penting menasehati anak untuk mencari istri yang pintar dan terdidik, sehingga dia bisa mendidik anak-anaknya dengan baik, dan menjadi partner intelektual yang setara.  Jauh lebih penting menekankan anak-anak laki-laki kita untuk memastikan bahwa dia mampu menafkahi keluarganya secara penuh, sehingga istri bisa fokus merawat anak-anaknya dan melayani suaminya secara maksimal. 

Sudah menjadi sunatullah bahwa laki-laki diciptakan sebagai leader, imam, diberi kelebihan berupa kekuatan fisik dan kesehatan yang lebih baik. Karena dia wajib memenuhi tanggung jawab sebagai suami, ayah , dan anak bagi orang tuanya.

Jangan sampai kemudian muncul kalimat nylekit nan menyakitkan, "Kuat macam apa? Nguleg tomat ae ra pendeng, pilek sithik ra kuat tangi!!!" Maluuuu.

Sebagai bonus, mungkin lirik lagu Iwan Fals ini bisa menjadi bahan renungan untuk mendidik anak lelaki:

BERAPA 
pencipta/penyanyi: Iwan Fals

Berapa jauh seorang lelaki
Tempuh jarak lalu jalan mendaki 
Berapa cepat seorang lelaki
Tanpa keluh sigap dia berlari
 

Berapa dalam seorang lelaki 
Selami lautan demi tepati janji 
Berapa keras seorang lelaki 
Pecahkan cadas di atas kaki sendiri

 

2 komentar:

  1. Betul sekali bahwa laki"akan menjadi pemimpin meski tidak untuk publik setidaknya dia bisa memimpin dirinya sendiri untuk menjadi contoh bgi orang lain.. nice

    BalasHapus

 

Blogger news

Blogroll

About