Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 26 November 2017

Mendidik Anak Secara Berjamaah

"Bagaimana kabar para anak wedok, apa sudah pada bangun?" Sapa salah seorang wali murid di salah satu WAG kami. Pertanyaan itu bagi orang lain mungkin biasa saja, tapi bagi yang tahu beliau rasanya agak lucu juga karena kedua anaknya laki-laki semua. Pertanyaan itu diajukan setelah Ibu ini mengawal anak-anak berbakat SD Luqman Al Hakim Surabaya mengikuti  Olimpiade Matematika Anak Bangsa di Universitas Katholik Widya Mandala Madiun.

Tapi kami yang merasa punya anak perempuan saling menyahut dengan gembira. "Aura baru saja bangun, Bu. Habis sholat subuh langsung tidur lagi."
"Sama, Safira juga baru bangun. Resa sama Tamam masuk sekolah?"
"Una malah belum bangun, rencana dibangunin dzuhur, biar dipuas-puasin tidurnya." 
Anak-anak ini memang layak mendapat perpanjangan waktu tidur, mengingat mereka pulang dari Madiun sudah lewat tengah malam. Sangat melelahkan memang, tapi juga sangat memuaskan karena itulah pertama kalinya Tim Anak Berbakat Matematika berhasil menyabet gelar juara umum dan membawa pulang piala bergilir ke Surabaya. 

Kejadian itu sudah lama berlalu, awal-awal tahun 2017 kalau tidak salah. Bahkan dua orang anggotanya, Resa dan Tamam kini sudah melanjutkan ke jenjang SMP. Tapi bukan berarti ikatan batin antara ibu asuh dan anak asuh ini terputus begitu saja. Setidaknya foto di atas bisa menggambarkan keakraban anak-anak dengan para wali murid yang biasa berinteraksi dengan mereka. Tante Ratna dan Tante Era sudah otomatis melekat di benak mereka, bahkan sebagai "jujugan" ketika ada masalah yang berhubungan dengan lomba.

Apa saja yang sudah mereka lakukan untuk membangun kedekatan sebegitu rupa? Kedekatan yang membuat seorang anak yang tengah ngobrol dengan ibunya sontak memotong pembicaraan, "Bentar, Ma. Ada Tante Ratna. Tanteee!!!" sambil lari menyalami, tak lupa cium tangan.

Ibu Asuh. Begitulah mereka berdua menyebut dirinya. Ibu Asuh yang akan bersorak paling kencang ketika salah satu anak disebut menang lomba - entah itu anak sendiri maupun anak orang lain.Ibu asuh ini juga tak ragu-ragu untuk "ngoprak-oprak" anak-anak supaya bergegas ke masjid terdekat ketika waktu sholat tiba. Kadang mereka juga diberi wewenang untuk menegur anak-anak yang melakukan hal-hal yang berbahaya, atau kadang terlalu banyak bercanda. Tidak lupa ibu asuh ini juga bertindak sebagai inspektor ketika waktu makan tiba, sekedar memastikan makanan yang dipesan benar-benar layak makan, tidak basi dan gizinya mencukupi.

"It's take the whole vilage to rise a child - Butuh orang sekampung untuk membesarkan seorang anak." Begitulah kata pepatah. Masalahnya ketika kita tinggal di kota metropolitan seperti Surabaya ini, orang 'sekampung' tidak selalu sevisi dengan kita dalam mendidik anak. Kadang perbedaan visi dan budaya dalam keluarga seperti ini justru akan memicu konflik jika kita ingin mendidik anak bersama-sama.

Maka bisalah sekampung ini kita ganti dengan sekomunitas. Seperti komunitas ibu-ibu dari anak-anak berbakat itu tadi. Karena berangkat dari pendidikan anak yang sama, maka kamipun berusaha menyesuaikannya di rumah. Jadi tak akan ada yang tersinggung ketika salah satu wali murid mengingatkan anak-anak untuk sholat Dhuha misalnya. 
Mereka akan senang-senang saja ketika bekal yang sedianya buat anaknya di rumah ternyata habis untuk berpesta berssama teman-temannya. 

Kini budaya ibu asuh ini masih terus berlangsung, meski posisinya tidak tetap tergantung siapa yang ikut lomba. Kadang saya bertindak sebagai ibu asuh, dalam hal ini bersama Pak Boss merangkap pendamping dari sekolah. Kadangkala Mama Aldyto atau Mama Faisal ketika Una tak lolos lomba. Kadangkala Mama Haizun bertindak sebagai ibu asuh. Orangnya boleh berbeda-beda, tapi kami semua punya kesamaan: Menikmati peran mengasuh anak-anak cerdas itu, dan menikmati segala perilaku mereka yang selalu antik, unik dan lucu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About