Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 21 Mei 2017

Unwanted Children: Ketika Kehadirannya Tidak Direncanakan

Mendengarkan kisah para Ibu dengan anak yang kehadirannya tidak diharapkan sungguh menyesakkan dada. "Sudah berbagai cara kulakukan  buat menggugurkan dia, Mbak. Ya obat, ya jamu, ya olah raga keras, dia tetap aja nggak mau rontok." ceritanya sambil memandang sengit anaknya yang masih balita. Si anak yang sedang bermain tidak tahu salah apa dia kok ibu memandangnya dengan penuh kebencian.

Kejadian itu sudah lama berlalu, si anak kini sudah menjadi ABG, umur 16 -17 tahunlah kira-kira. Dia jadi salah satu dari beberapa kisah unwanted children yang pernah diceritakan ibunya padaku. Dan karena paparan obat yang berlebihan dalalm kandungan, ada yang kemudian terlahir normal secara fisik tapi intelegensianya sangat rendah, ada pula yang secara fisik dan intelektualnya normal tapi perilakunya bermasalah.
Banyak alasan kehadiran anak tidak dikehendaki oleh orang tuanya. Kehamilan di luar nikah, jarak kakak dan adik yang terlalu berdekatan atau terlalu berjauhan, Ibu yang merasa terlalu tua untuk mengandung, hasil perselingkuhan, dan masih banyak lagi alasan lainnya. 

Ngomong-ngomong soal kehamilan yang tidak direncanakan, saya punya pengalaman yang lumayan lengkap, karena ketiga anak saya memang tidak direncanakan kehamilannya. Anak pertama hadir ketika usia saya sudah hampir kepala 3, itupun setelah 5 tahun menikah. Alhamdulillah kehadirannya bisa kami sambut dengan penuh cinta meski waktu itu secara finansial kami sedang demikian pas-pasannya.

Ketika Si Kecil yang lucu menggemaskan ini belum lagi genap setahun, ternyata Allah mengkaruniai kami anak kedua. Padahal belum puas hati kami mencurahkan cinta, kini kami harus membagi perhatian dengan adiknya. Betapa keringat dingin bercucuran di tubuh  ketika bidan memberi tahu bahwa saya positif hamil. Membayangkan kerepotannya saja sudah tidak sanggup. Mengurus satu bayi saja repot, apalagi dua sekaligus, bagaimana menjalaninya? Sementara di Surabaya ini praktis kami tinggal berdua dengan suami saja.



Dan kehamilan kedua diperberat dengan kondisi Si Sulung, Eying yang sering sakit-sakitan. Anak kami yang kedua, yang diberi nama Kurnia lahir ketika kakaknya baru berumur 1.5 tahun. Keduanya masih butuh perhatian yang sama besarnya, Abinya bekerja dari pagi sampai sore, hanya saya yang harus berkutat dengan pekerjaan rumah tangga yang tak ada habisnya dan merawat serta menyusui dua bayi sekaligus.  Persis kucing, begitu komentar orang tua kami.

Dan depresi akan semakin menjadi ketika keluarga besar mulai melakukan intervensi. Seorang ibu dengan banyak anak balita tak butuh nasehat bagaimana caranya supaya rumah tetap rapi jali sepanjang hari. Dia tak butuh dikritisi berapa kali mencuci baju dan popok dalam sehari.  Apalagi didikte bagaimana menjadi ibu yang baik berdasarkan standar orang tua jaman dahulu, yang toh pada akhirnya tidak semuanya bisa diaplikasikan di jaman ini. 

Hingga sekarang saya masih tidak tahu bagaimana bisa kami melewati saat-saat berat itu. Bukan hanya berat secara fisik karena pekerjaan bertumpuk dengan waktu serta tenaga yang terbatas, tapi juga harus membagi perhatian yang sama besar antara adik dan kakak. Juga berat secara psikis karena kelelahan fisik sangat berpengaruh pada kondisi emosional seseorang.

Kalau anda ingin tahu seperti apa rasanya post partum syndrome, baby blue ataupun depresi pasca melahirkan, saya bisa menjawab dengan sangat rinci buat anda. Kondisi ini semakin berat ketika 2 tahun kemudian Si Bungsu, Faiz,  lahir. Selama 5 tahun praktis kami harus berjuang merawat dan mendidik 3 balita sekaligus tanpa bantuan kerabat maupun orang tua.

Tapi Allah adalah sebaik-baik pembuat rencana. Dia memberi kami ujiaan rumah tangga berupa anak yang lahir berdekatan jaraknya, jauh dari keluarga dan kerabat dan hanya bisa saling bergantung pada pasangan supaya bisa menjalaninya dengan normal. Tidak menyenangkan memang. Siapa sih yang mau pulang kantor dalam kondisi rumah berantakan, anak-anak menangis dan istri tak kuasa meredam emosi? Siapa sih yang mau ditekan terus-menerus untuk bisa merawat 3 balita sepanjang hari tanpa jeda istirahat sama sekali, tidak boleh marah ataupun depresi, tidak boleh menuntut ini itu pada suami?

Jika ketika itu saya diberitahu bahwa anak-anak kami  akan menjadi anak cemerlang yang mengharumkan nama orang tua dengan prestasinya di usia yang sangat belia, mungkin seujung kukupun saya tidak akan percaya. Siapa yang akan tahu bahwa bayi yang suka mengobrak-abrik lipatan baju itu kelak akan menjadi juara berbagai olimpiade IPA? Siapa yang menyangka bayi yang susah sekali toilet trainingnya itu akan unggul di bidang matematika dan berprestasi hingga tingkat nasional? Siapa yang menyangka bahwa bayi laki-laki yang sering tantrum dan sangat keras kepala itu adalah pembelajar prestasi, yang baru beberapa bulan masuk SD sudah memberi hadiah orang tuanya sebuah medali tingkat propinsi?


Sekarang jika saya refleksikan ke masa lalu, rasanya seperti ditampar. Betapa kurang sabarnya kami ketika itu, yang langsung merasa bahwa Allah menghukum kami dengan beban berat berupa anak-anak yang hampir sebaya usianya, luar biasa antik kelakuannya, dan luar biasa banyak sumber daya yang dibutuhkan untuk membesarkan mereka. Apa yang kami alami di masa itu sangat jauh dari menyenangkan, penuh dengan pertengkaran dan emosi terpendam, sarat kelelahan fisik, emosional dan spiritual.



Kini jejak rasa sakit, lelah dan depresi 5 tahun merawat 3 balita Alhamdulillah sudah hilang bekasnya. Yang tersisa adalah rasa syukur dan bangga, bahwa kami dikaruniai anak-anak yang sehat, sholih sholihah, cerdas dan bahagia. Rahmanto bersaudara berhasil membuat orang tua mereka bangga dengan prestasi-prestasi akademiknya. Jika dulu mamanya seringkali menangis karena beban yang harus ditanggung di pundaknya, kini mamanya seringkali menangis penuh syukur karena merasa tak layak mendapatkan berkah seperti mereka.

Kadang Allah menguji kita dengan rasa sakit, kelelahan dan depresi supaya kita bisa mensyukuri setiap tetes nikmat yang dikucurkannya kepada kita.  Kehamilan yang tak diinginkan dalam beberapa aspek memang menyakitkan sekaligus mengerikan. Tapi kita tak akan pernah tahu berkah apa yang ingin Allah berikan kepada kita. Ketika itu terjadi, sesungguhnya Allah hanya menyuruh kita untuk bersabar sedikit lebih lama. Dan bagi kami berdua, 5 tahun berjuang membesarkan mereka sudah terbayar lunas dalam waktu yang tidak lama.

2 komentar:

  1. subhanallaah
    Tulisan yang begitu menyentuh hati saya

    BalasHapus
  2. Terimakasih Mbak Sifat, sebenarnya menulis ini malu sendiri. Malu sama kelakuan kami waktu itu yang tidak mau bersabar. Dan sekarang lebih malu lagi, seolah-olah Allah ngece kami.

    BalasHapus

 

Blogger news

Blogroll

About