Kami mengenalnya sebagai Mbah Suryo. Beliau adalah adik nenek kami dari pihak bapak. Beberapa orang menganggapnya sebagai orang yang tidak terlalu waras, sebagian lagi menganggap dia sakti (konon waktu Gunung Kelud meletus entah yang tahun berapa, beliau berhasil 'membelokkan' arah aliran lahar panas sehingga tidak melalui desa kami. Hal itu ditunjang dengan cerita beliau yang konon sudah menikah dengan jin penunggu Gunung Kelud bahkan melahirkan anak darinya. Bahkan di pikiran kanak-kanak kami, aku selalu berpikir dia delusional, orang tua yang kebanyakan fantasi karena masa kecil kurang bahagia.
Tidak ada yang tahu sejarah awalnya secara persis. Bapak kami tercintah itu, setiap kali ditanya hanya menjawab sepotong-sepotong saja. "Yo embuh, Da, persisnya kenapa. Pokoknya Embok bilang habis melahirkan sempat berantem sama suaminya, terus ditampar. Mari ngono terus owah pikirane." begitu cerita Bapak, yang diamini oleh Mbok Dhe Pah, kakak tertua beliau.
Dan air mataku mengalir telat puluhan tahun lamanya.........
Membayangkan seorang ibu yang baru saja berjuang meregang nyawa, mengantarkan bayinya ke dunia. Belum lagi hilang rasa sakitnya, belum lagi sembuh luka-luka di rahimnya, masih harus melekan tiap malam mengganti popok, menyusui bayi yang rewel entah kenapa, dan ketika bertengkar, masih disakiti suaminya. Itu sudah jauh di atas depresi kukira.
Ibu-ibu yang baru melahirkan pada jaman dahulu memang menderita luar biasa. Bayangkan saja, setelah menderita kesakitan berjam-jam lamanya, si Ibu harus kembali 'disiksa' tubuhnya dengan memakai stagen super kencang yang bahkan bernafaspun dia susah, apalagi bergerak secara bebas. Dia masih harus diet sangat ketat meliputi tidak boleh mengkonsumsi makanan hewani, masakan pedas berminyak, dan hanya boleh makan sayuran rebus tanpa bumbu serta tempe yang dibakar (ini pun tanpa bumbu).
Semua itu dilakukan dengan satu alasan saja, biar tubuhnya tidak melar dan tidak ditinggalkan suaminya!! Binatang seperti apakah mahluk bernama suami, sehingga tega meninggalkan istrinya yang sudah melahirkan dan merawat anaknya, hanya karena dia tambah gemuk, tambah tua dan sebagainya?
Orang tua macam apa yang mendidik anak laki-lakinya untuk memandang kecantikan hanya sebatas fisik semata? Berapa banyak orang tua yang sudah demikian salah kaprah mendidik anaknya?
Terjawab kan, kenapa anak-anak Indonesia pada jaman dahulu pendek-pendek posturnya? Salah satunya karena ketika bayi, mereka tidak mendapatkan asupan gizi sesuai kebutuhannya, karena ibu dilarang mengkonsumsi cukup makanan demi memuaskan mata bapaknya. Astagfirullah hal adziiim
Seperti yang sudah kukatakan, air mataku untuk Mbah Suryo mengalir telat puluhan tahun lamanya.
Lalu munculah berita dimana seorang Ibu yang awalnya penuh kasih sayang, selama ini sikapnya baik-baik saja, rajin dan tertib beribadah dengan pemahaman agama yang bagus tiba-tiba menjadi terdakwa atas kasus pembunuhan anaknya sendiri.
Atau yang beberapa minggu yang lalu dimana istri seorang polisi tiba-tiba memutilasi anaknya sendiri. Semua jari menunjuk pada si Ibu tanpa ada yang berpikir bahwa sangat mungkin dia terkena depresi. "Depresi gimana? Dia baru saja melahirkan anak yang selama ini dirindukannya. Seharusnya dia bahagia!!!"
Betul Bapak, dia bahagia. Tapi dia juga capek harus mengerjakan pekerjaan rumah yang tiada habisnya, memenuhi tuntutan suami, orang tua dan mertua agar menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, sekali lagi "agar suami betah di rumah", sambil merawat bayinya, mungkin juga kakak si bayi yang masih balita dan cenderung punya hoby memporak-porandakan apa saja. Dia juga harus melekan di malam hari ketika si bayi demam, sementara suami tinggal bilang, "Tak mau diganggu karena besok harus kerja." Belum lagi harus menghadapi kecerewetan saudara, teman maupun tetangga yang merasa paling berhak untuk mengkritisi caranya merawat anaknya.
Padahal tugas suamilah membuat istrinya bahagia, di hari ketika dia mengucapkan akad nikahnya. Tugas orang tualah mengingatkan anak laki-lakinya untuk bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan anak orang lain yang kini dalam tanggungannya. Tak pernahkah dia dididik untuk menghormati istrinya sebagai wanita? Tugas orang tualah memberikan dukungan psikologis anak perempuannya di saat-saal tersulitnya.
Padahal tak banyak tuntutan yang diminta oleh seorang yang baru melahirkan. Cukup baginay ketika dia dipercaya bisa merawat anaknya. Sukup baginya ketika suami memaklumi rumah yang berantakan karena ketika anak bertambah, tidak otomatis waktu dan tenaganyanya dalam sehari ikut bertambah. Dia tidak juga serta merta menjadi Dewi Durga yang perkasa.
Cukup suami tahu bahwa ia menikahi seorang istri, bukan pembantu gratisan yang menyediakan baju bersih, eangi tersetrika untuknya. Dan tidak melupakan tugasnya membantu pekerjaan istrinya di rumah meski dia sibuk bekerja. Oh, dibuatkan teh di malam hari setelah anak-anak tidur tentulah terasa luar biasa. Atau digantikan tugasnya menyiapkan sarapan sementara ia sibuk memandikan si kecil.
Karena bukan hanya bayi yang butuh perhatian ekstra. Dan ibu yang bahagia akan membentuk anak yang berkarakter fleksibel, mudah beradaptasi, percaya diri serta memiliki kecerdasan emosi yang tinggi.
Dan kita yang menjadi mertua atau orang tua atau teman atau mungkin saudara, berhentilah menghakimi. Kita memiliki era yang berbeda. Biarkan dia membentuk dan menyayangi anak-anaknya dengan caranya yang berbeda pula. Doakan saja supaya anak-anak kita bahagia.
Kamis, 13 Oktober 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar