Hari ini saya terpaksa memarahi salah satu anak saya. Kenapa? Karena dia ngambeg. Kenapa? Karena setelah sepagian disuruh sisiran, tidak berhasil nemu sikat kesayangannya, lalu berusaha menyisir rambutnya yang ruwet tak terkira pakai sisir biasa, tidak berhasil ngamuklah dia. Setelah berteriak marah dia masuk kamar, pintu dibanting brakkk!!!!! Lalu menolak keluar. Saya lagi setrika, jadi kabel dicabut, berdiri di pintu kamarnya dengan postur yang bahkan Profesor Snape pun kalah menakutkan.
"Keluar dari kamar, SEKARANG." Anaknya membuka pintu, melihat ekspresi mamanya yuang marah bukan buatan dia ngeper juga.
"Kamu marah membanting pintu karena apa?" (Anaknya diam beberapa lama) "Kalau Mama atau Abi tanya, DIJAWAB." "Lha Maama nyuruh sambil marah-marah." "Menurutmu kenapa Mama marah-marah?"
"Karena nggak mau sisiran." "Mama nyuruh kamu sisiran berapa kali sepagian ini? Kemarin sore mama nyuruh kamu sisiran kamu kerjakan nggak?"
"Apa, mama nyuruhnya langsung marah!"
"Lha iya, kenapa mama nyuruhnya langsung marah? Sebelumnya mama nyuruh kamu nggak?" "Iya!" "Berapa kali?" "Tiga kali." "Kamu kerjakan nggak?" "Enggak?" "Kenapa enggak?" (Diam lagi lama) "Kenapa?"
"Nggak kenapa-napa." "Jadi mama sudah menyuruh kamu baik-baik untuk sisiran, tapi nggak kamu kerjakan sampai mama marah baru kamu sisiran. Ternyata rambutmu ruwet, dan kamu menyalahkan mama karena mama nyuruh kamu sambil marah-marah. Sekarang mama tanya, hubungannya antara rambut ruwet dengan mama marah-marah apa?"
Bisa jadi dia anak paling pintar di kelasnya, tapi menjawab pertanyaan seperti itu ternyata kesulitan juga dia. Lalu dia merubah taktik. "Lha mama nggak mau nyisirin?" "Kamu bilang ke mama minta disisirin nggak?"
"Nggak." "Mama tahu dari mana kalau kamu minta disisirin, kalau kamu nggak bilang apa-apa?" "Sekarang bener nggak kamu marah-marah pada orang lain, Mama terutama, atas kesalahan yang kamu buat sendiri? Anaknya diam. "Sopan nggak membentak Mama, yang sepagian nyiapin kamu sarapan, ngurusi segala kebutuhanmu, nyetrikkain bajumu?" "Boleh nggak seorang anak memperlakukan orang tuanya kayak pembantu?"
Saya tidak akan malu mengatakan bahwa sebagai Ibu, saya suka mengomel. Ketika seorang anak membentak saudaranya untuk meminjam sesuaitu, saya tak segan-segan menyuruh mengulanginya dengan menggunakan sikap dan kata yang baik. Atau memaksanya meminta maaf ketika salah satu dari mereka lebih suka menggunakan tangan untuk berbicara (memukul, mencubit dsb). Terutama ketika seseorang berani melotot atau membentak bapaknya, atau saya sekalipun.
Kanapa? Karena di jaman sekarang, dimana secara fakta anak lebih pintar dari orang tuanya, yang bernama tata krama justru menjadi barang langka. Karena orang tua terlalu sibuk untuk mengajari mereka, juga karena kesombongan si anak yang merasa lebih pintar dan merasa derajadnya lebih tinggi dari orang tuanya.
Jadilah kita bertemu dengan anak-anak krisis identitas, para ABG labil yang bangga dengan kemampuannya mempreteli sepeda motor ortunya, membolongi knalpolt dan ngebut melawan arah sambil boncengan bertiga. Atau anak-anak perempuan yang dengan bangga memakai hot pant dan tank top keluar jam 10 malam bersama rombongan teman-temannya.
Juga anak-anak laki-laki dengan potongan rambut ala mohawk, memakai anting baut (istilah sendiri saking lucunya si anting-anting itu) berlagak sok pintar meski SMP tidak lulus.
Kadang melihat para ABG labil itu lucu juga. Mereka suka duduk bergerombol, ngobrol sambil saling adu pintar mengeluarkan kosa kata penghuni kebun binatang, atau kosa kata organ pribadi mereka sendiri, sambil klepas-klepus merokok pakai duit orang tua, berlagak seperti cowok macho habis panjat tebing entah dimana seperti di iklan-iklan rokok yang mereka lihat.
Kemana orang tuanya? Saya mengenal beberapa orang tua dari mereka. Ada yang Ibu dan Bapaknya hidup terpisah karena si Bapak kerja di luar kota, dan si anak tinggal dengan Ibu yang sudah tidak sanggup mengontrol anaknya. Ada yang lengkap orang tuanya, tapi kemampuan mereka sekedar memproduksi anak, dan sama sekali tak punya ide hasil akhirnya akan seperti apa. Ada yang sebegitu permisifnya sehingga ketika si anak misuh di depan hidungnya orang tua tak bertindak apa-apa.
Bagi saya mencegah anak berperilaku seperti itu tinggal main logika saja. "Menurut kalian hubungan merokok dengan kemampuan panjat tebing itu apa? Atau kalau mereka sudah merokok, buang putungnya di tengah jalan atau di pot orang, terus mereka bisa rapling atau panjat tebing kayak di iklan? Mama bisa rapling, bahkan dengan kepala terbalik, bisa nembak, dan ga merasa perlu pamer dengan cara merokok."
"Abi juga sama, sudah biasa melatih mahasiswa main rayap tambang, flying fox, rapling, dan nggak merokok juga. Anak-anak yang kalian lihat itu kira-kira bisa nggak?" "Ya enggak, Ma. wong mereka kayaknya nggak sekolah kok." "Persis, itu namanya delusional, tidak berusaha apa-apa, tinggal bergaya sok jantan, berdandan ala bintang iklan lalu kamu jadi orang paling pinter sedunia, masuk akal nggak?"
Tapi yang paling utama memang contoh dari orang tua. Ketika anak-anak melihat orang tua mereka - yang setinggi apapun possisinya, sepintar apapun mereka - tidak melupakan sopan santun dalam bertetangga, berhubungan dengan anak-anak dan orang yang lebih tua, maka anak-anak akan meniru mereka.
Ketika orang tuanya yang menguasai entah berapa bahasa lebih memilih bicara krama inggil kepada tetangganya, anak-anak akan tahu bahwa kecerdasan, kedudukan dan kekayaan tidak menihilkan kewajiban untuk berbuat baik pada siapa saja.
Semua memang harus berawal dari keluarga. Jangan sampai kita meniru orang-orang tua kita terdahulu yang sering salah kaprah mendidik anak-anaknya.
Tugas orang tua adalah mengantarkan anaknya menjadi generasi yang lebih baik dibanding sebelumnya, bukannya memanjakan dengan kemewahan yang tidak bisa didapatkan di masa kecilnya. Tata krama hanya salah satu dari pondasi mendidik anak. Anak laki-laki harus dididik untuk menghormati wanita.
Mereka harus tahu tentang kewajiban berbakti pada ibunya, mendidik, melindungi, menafkahi dan menyayangi istrinya serta menjadi figur laki-laki bagi anak perempuannya. Pun, anak perempuan harus dididik gar tahu posisinya, dan bisa menghargai dirinya sendiri sebagai sesama manusia.
Supaya orang lain bisa menghargai moralitasnya, kecerdasannya, dan perilaku baiknya, serta tidak memandangnya sebagai benda, atau sebagai sarana permainan semata.
Dan yang terpenting jangan pernah membiarkan anak mengontrol rumah tangga kita, dengan menuruti setiap keinginannya hingga titik komanya. Kenapa? Karena tugas kitalah sebagai sosok dewasa di rumah, yang diharapkan sudah mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah, yang berfungsi sebagai pengontrol berjalannya sebuah rumah tangga.
Semoga bermanfaat kawan.
Rabu, 12 Oktober 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar