Pernahkah anak anda bertanya tentang bagimana sepiring tempe goreng terhidang di meja? Pernahkah mereka bertanya kenapa kedelai yang ada di tempe mereka berbeda karakternya dengan kedelai yang di jual di warung deket rumah, atau dengan kedelai rebus yang biasa lewat gang rumah kita? Pernahkah terpikir oleh kita, orang tua mereka, untuk bercerita tentang proses terbentuknya tempe mulai dari butiran kedelai, kemudian direbus dan dibersihkan kulit arinya, lalu diberi ragi yang sebenarnya adalah spora jamur kecil-kecil yang akan berfungsi sebagai lem?
Kalau anda berpikir itu semua tidak menarik minat anak-anak, mungkin anda perlu mewawancarai anak saya dan teman-temannya, tentang pengalaman mereka membuat tempe, dan perasaan mereka menunggu sehari, dua hari, mengamati perkembangannya, melihat butir-butir kecil tumbuh di antara biji kedelai dan semakin berkembang biak membentuk semacam kapas lalu merekatkan butiran-butiran kedelai hingga bisa diiris tipis dan siap dimasak.
Ternyata mengamati proses terbentuknya tempe sangat menyenangkan. Begitu juga mengamati tumbuhnya tunas biji-bijian mulai dari tumbuh kuncup daun, akar lalu batangnya memanjang dan seterusnya. Termasuk juga mengamati proses menetasnya telur kupu=kupu menjadi ulat dan memakan seluruh daun yang ada sampai bermetamorfosis sempurna. Anak-anak adalah para peneliti yang menakjupkan.
Mereka adalah peneliti yang menakjupkan, dan tidak cepat bosan. Kalau kita memberi mereka cukup waktu. Sayang waktulah yang tidak banyak dimiliki oleh orang tua jaman sekarang. Orang tua terlalu sibuk dengan dunia dewasa yang serba terburu-buru tanpa paham sepenuhnya apa sebenarnya yang diburu.
Toh proses perkembangan tempe bisa dicari di buku, di internet juga banyak. Membiarkan anak-anak menumbuhkan biji jagung dan kacang ijo? Lalu rumah basah dan kotor oleh kapas, pasir, bahkan air yang berceceran kemana-mana? Mau apa sih? Kolak kacang ijo? Toh tinggal beli banyak yang jual. Bahkan kalau kepepet bisa beli sereal rasa kacang ijo, jauh lebih praktis.
Dan mencari praktis merambat pula ke dunia pendidikan. Karena akhirnya semua pihak menuntut hasil akhir, bukan proses dan kerangka berpikir. Dan menjamurlah metode dan cara cepat mengerjakan ini itu, tidak perlu repot menguraikan rumus, menggambarkan persamaan dan sebagainya. Itulah yang dikejar oleh murid-murid dan orang tua. Suatu hal yang secara sengak disebut Richard Feynman sebagai fenomena pendidikan negara berkembang: hafal rumus, lancar mengerjakan soal tapi kering akan pemahaman substansi.
Dan karena terbiasa melakukan apapun dengan cara cepat dan instan, substansi dari pendidikan untuk membuat manusia bisa berpikir secara rasional jadi terlewatkan. Jangankan membedakan benar dan salah atau baik dan buruk, mengenali saja mereka nggak sempat, karena diburu pelajaran instan berikutnya.
Mungkin anda masih ingat kasus 3 x 4 = 4 + 4 + 4 vs 3 + 3 + 3 + 3 yang membuat seorang mahasiswa memprotes guru adiknya karena Sang guru menyalahkan prosesnya dan tidak menghiraukan hasil akhirnya. Berapa banyak perdebatan yang muncul di media masa yang secara tak langsung menyalahkan sang guru karena dianggap terlalu bertele-tele, dan malah menyurutkan semangat belajar si anak?
Guru yang sebenarnya berusaha memberikan pemahaman yang benar ke anak dibully di media sosial karena kebanyakan user medsos beranggapan proses itu tidak penting karena yang penting hasilnya sama. Saya ingat waktu itu Mr Boss sempat berkata, "Kalau memang lebih penting hasilnya, misal aku lapor kehilangan uang 1 jt berisi 20 lembar 50 ribuan, di tempat lain ada orang nemu uang 1 jt berupa 50 lembar 20 ribuan, bisakah uang itu kuklaim sebagai uangku?"
Dan akibat jangka panjangnya lagi anak-anak tidak lagi berpikir secara rasional. Tidak heran kan kalau kemudian Dimas Kanjeng, AA Gator Brajamusti, dan entah siapa lagi yang mengaku 'orang pintar' begitu mudah mendapatkan pengikut?
Kalau orang tua tidak pernah memberi kesempatan anak-anaknya untuk melakukan analisa, berapa banyak dosa yang akakn mereka tanggung ketika anak-anak mereka menjadi pengikut setia dajjal-dajjal kecil yang terpesona akan keajaiban di depan matanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar