"Mama, kok dadanya mama jedug-jedug?" Tanya Faiz yang saat itu baru berumur 3 tahun.
"Itu bunyi jatunge Mama, Iz?" "Aku juga punya jantung enggak?" "Coba aja dicek," sesaat kemudian, "Una, coba dengerin jantungku jedug-jedug enggak?"
"Kata Una jantungku juga jedug-jedug. Kenapa semua orang jantungnya jedug-jedug?" Tanyanya sambil matanya berbinar-binar, seolah-olah kita bisa melihat kilatan listrik yang berkerlip di otaknya.
"Itu karena jantung kita sedang kerja, kerjanya memompa darah kita supaya beredar ke seluruh tubuh, Iz...." "Memangnya kalau tidak dipompa kenapa?"
Susah ya ternyata jadi seorang ibu? Setiap saat kita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada putusnya, yang bersumber dari keingintahuan anak-anak kita. Dan pertanyaan anak-anak jaman sekarang luar biasa cerdasnya.
"Mama, kenapa Mammoth dan Diego - maksudnya macan gigi pedang - bisa punah?"
"Mama-mama, kenapa Machu Piccu ditinggalkakn penduduknya?"
"Kenapa kilatnya hujan suaranya kenceng, kalau kilatnya kabel cuman ces ces gitu?"
"Mama, kenapa orang China bikin Grrreeeat wall?"
"Kenapa Max Havelaar yang orang Belanda membela orang Indonesia? Apa orang Belanda yang lain nggak malu?"
Itu baru pertanyaan anak-anak balita, belum lagi anak-anak pra remaja yang minat bacanya sudah tinggi. Atau anak-anak menjelang puber yang bingung dengan perubahan fisiknya? Bagaimana dengan anak-anak remaja kita yang komplain karena peraturan di rumah kita berbeda dengan peraturan di rumah temannya. Atau protes karena anak-anak di sinetron atau film-film barat bisa berpakaian seksi bahkan pakai bikini, sementara anak-anak kita dituntut untuk berpakaian sopan?
Tugas seorang ibu menjadi lebih berat karena ia harus bisa memotivasi anak-anaknya supaya suka belajar. Dan alih-alih memaksa anak duduk di meja belajar dan menghafalkan isi buku (yang berdasarkan pengalaman kebanyakan justru gagal :D ) maka kita harus mendorong anak untuk selalu ingin tahu dan selalu mencari jawaban.
Konsekuensinya, kembali lagi si Emak harus bersiap-siap menyediakan jawaban yang dimaksud. Maka sambil tangan gluprut kena adonan tempe goreng otak si emak harus pula siap menjadi kamus Indonesia - Inggris, jadi Mbah Google amatiran ataupun partner bedah buku apa saja yang barusan dibaca si anak.
"Jadi yang di hutan mangrove itu bukan salamander, Ma. Itu ikan glodok." Kata si kecil sambil menunjukkan buku ensiklopedia ke mamanya yang lagi berkeringat dan bau bawang karena sedang bikin sup ayam.
Ikan glodok yang banyak dijumpai di Hutan Mangrove Wonorejo Surabaya
"Oh, jadi bukan salamander ya?" "Salah, Mama sama Abi selama ini keliru."
Dan semua anak kecil punya potensi menjadi cerdas luar biasa. Suatu saat Faiz dan temannya, Hegar mengobrol sambil bermain lego.
Faiz: Kita bikin Tembok Raksasa China, Gar.
Hegar: Kenapa China bikin tembok raksasa?
Faiz: (PD tingkat dewa) Ya biar ga biosa diserang musuh laah
Hegar: Kan kalau dirudal temboknya jadi rusak, musuh masih bisa nyerang?
Faiz: Iya ya? Mama, kenapa musuhnya China dulu nggak merudal tembok raksasa?
Hahahahaha
Maka marilah kita menjadi Ibu yang tidak kudet bagi anak-anak kita sendiri. Kalau seorang ibu masih bisa update status di facebook, aktif di grup WA dengan teman-teman sekolah dulu, maka kesempatan untuk memperluas pengetahuan akan sama besarnya.
Karena ketika ibu menjadi sumber jawaban pertama bagi anak, kesempatan untuk mendapatkan jawaban sesat dari internet bisa diminimalisir. Selain itu kesempatan untuk menanamkan nilai moral akan lebih besar ketika kita pandai mendongeng dan bercerita.
Selamat mencoba.
Kamis, 02 Juni 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar