Bagaimana dengan anak laki-laki? Orang-orang jawa jaman dahulu mengibaratkan anak laki-laki sebagai piring seng, yang biasa dipakai untuk alat makan anak balita supaya tidak gampang pecah, atau bisa juga sebagai wadah untuk memberi makan kucing. Piring ini kuat, tidak gampang gempil bahkan pecah. Harganya? Mari kita coba survey di olx dan tokopedia. Ah, ternyata bervariasi antara Rp 5000 sampai Rp 7500 saja. Sedikit lebih murah dibanding piring melamin food grade punya saya. :D Enaknya punya piring seperti ini adalah bahwa kita tak perlu terlalu berhati-hati memakainya. Mau dilempar ataupun terbentur sampai penyok tidak sayang, toh tak mahal harganya.
Begitulah orang tua jaman dahulu membedakan anak laki-laki dan perempuan mereka. Anak perempuan sangatlah berharga, karena itu harus benar-benar dijaga. Dan begitu ketatnya menjaga, hingga begitu masuk masa puber si anak perempuan dipingit, tidak diperbolehkan keluar rumah sampai ada laki-laki yang mau meminangnya.
Perlakuan yang sangat menjengkelkan dilihat dari sudut pandang perempuan itu sendiri. Hanya karena alasan dia berharga, ayahnya melarang anak-anak perempuan melakukan kegiatan apapun kesukaannya, melarangnya pergi kemana saja, sementara saudara laki-laki diumbar mau berbuat apa saja. Lalu muncullah ide emansipasi, pembebasan wanita, penyetaraan derajad laki-laki dan perempuan dan gerakan-gerakan sejenisnya, yang intinya menolak wanita sebagai pajangan.
Akhirnya bendunganpun jebol juga. Kebebasan yang diperoleh, benarkah digunakan sesuai kepentingan para wanita? Oh tentu saja!!! Ada ribuan anak-anak gadis yang penuh amanah menjaga kepercayaan orang tuanya, pergi menuntut ilmu ke negeri seberang, tak pernah sedikitpun melakukan perbuatan tercela, pulang kampung membawa gelar pendidikan yang disandangnya, with all the dignity intact. Mereka adalah wanita-wanita terhormat yang ketika pulang kampung menjadi teladan anak-anak desanya, keberadaannya dihargai dan dihormati para tetua.
Tapi tidak sedikit juga yang memanfaatkan kebebasan itu dengan semena-mena. Alih-alih membekali dirinya dengan segala ketrampilan dan pendidikan yang dibutuhkannya kelak, anak-anak ini memanfaatkan kebebasan sebagai wanita menjadi penyembah kesenangan dan kebebasan tanpa batas. Pernahkah anada melihat anak gadis memakai hot pant dan kaos super ketat, berboncengan 3 dengan kawan laki-lakinya, jam 11 malam pula? Saya pernah.
Pernah juga bertemu dengan anak ABG yang baru lulus SMP pulang ke rumah jam 05.30 pagi, ketika saya hendak belanja sayur. Melihat sekelompok anak laki-laki dan perempuan (semua ABG usia SMP-SMA berdandan ala artis korea darn tetawa ngakak, bercanda dan saling menggoda jam 10 malam? Pernah juga, dan mereka melakukan itu tepat di belakakng punggung orang tuanya!!!!!
Lalu terjadilah kasus perkosaan, pelecehan seksual, hamil di luar nikah dan mengalami penderitaan sebagai orang tua tunggal di usia 14 tahun, anak-anak balita korban kekerasan ibunya yang depresi karena harus mencari nafkah sekaligus menjaga anaknya, dan ayah si anak menolak bertanggung jawab dengan alasan belum siap menikah, dan setumpuk problem lainnya karena anak-anak perempuan kita menolak sebagai "pajangan" yang sangat berharga.
Kadang saya mikir juga kalian menolak jadi pajangan orang tua, tapi kalian memperlakukan diri sendiri sebagai pajangan juga. Berdandan seminim mungkin untuk dinikmati siapa saja yang melihatnya. Bersikap liar seolah-olah berkata, "Aku adalah cewek bebas yang siap diperlakukan apa saja!" Kalau sudah seperti itu, apa gunanya kita susah-susah mendidik anak-anak laki-laki kita untuk menghormati wanita?
Lalu munculah berbondong-bondong para kucing garong yang antri, bergiliran berebut ikan asin. Dan kucing garong tetaplah kucing garong. Semacho dan seganteng apapun penampilannya, begitu masa heat selesai, dia akan kembali ke rumah pemiliknya yang lama.
Maka orang tua harus mencari cara yang lain, karena cara represif seperti mengurung atau memingit (naudubillah), dan serba melarang tanpa penjelasan hanya akan menghasilkan pemberontakakn anak gadis kita. Tugas kita adalah menyadarkan anak-anak gadis kita, bahwa kalau mereka menolak sebagai pajangan, jadila lebih dari sekedar pajangan.
Ketika seorang wanita hanya ingin dinilai dari kemulusan kulitnya, keindahan rambutnya, kelangsingan dan keseksian tubuhnya, maka detik itu dia menganggap dirinya sendiri sebagai pajangan belaka. Tugas kitalah mengajari bahwa manfaat kita sebagai wanita akan ditentukan oleh perilaku, moralitas, kecerdasan dan pegangan hidup kita sebagai manusia.
Tentang bagaimana caranya, tugas kita sebagai orang tualah untuk mencari jalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar