Monica Winarti mungkin hanyalah salah satu dari sedikit orang yang rela mempertaruhkan apa saja demi memperoleh pendidikan yang layak. Sebenarnya definisi pendidikan yang layak di kampung kami di Blitar tidaklah tinggi-tinggi amat, cukup sampai SMA saja. Tapi bagi petani kecil seperti bapakku, penjual tahu seperti bapak Winarti ini, juga para orang tua yang sehari-hari jadi buruh tani, tukang bangunan yang tidak selalu dapat kerjaan, mengantarkan anak-anaknya hingga lulus SMA adalah mimpi-mimpi yang tak akan pernah tercapai. Pungguk merindukan bulan adalah peribahasa nyata di desa kami.
Masalahnya beberapa di antara kami dikaruniai otak yang sedikit lebih cerdas meski penuh keterbatasan. Tidak secemerlang Lintang dalam Novel Laskar Pelangi memang, tapi sudah cukup untuk membuat kami bertekad sangat kuat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.Winarti termasuk salah satunya. Bayangkan perasaan anda ketika lulus SMP dengan nilai yang memungkinkan anda masuk di SMA Negeri manapun di kota anda, tapi orang tua anda tak punya uang untuk membiayainya?
Apalagi anda sadar bahwa ijazah SMP tidak akan bisa berbuat banyak untuk merubah kehidupan anda. Mestikah menyerah pada nasib, menjadi petani yang bahkan sawah dan ladangpun tak punya? Hanya mengandalkan belas kasihan para tuan tanah yang bersedia memberi pekerjaan dengan gaji yang lagi-lagi tak cukup buat membayar SPP anak-anaknya?
Pada saat itulah tawaran dari Sekolah Menengah Pekerja Sosial Bhakti Luhur (SMPS) menjadi pertimbangannya. Disana dia bisa bersekolah secara gratis. Karena sekolah itu milik institusi Katholik, maka budaya yang ada disana pun merupakan budaya Katolik. Dan meski waktu itu tidak ada paksaan untuk pindah agama, tapi lingkungan lah yang berbicara. Beberapa bulan setelah masuk sekolah itu, teman masa kecilku ini berpindah agama dan menyandang nama Monica di depannya.
Monica Winarti lalu menjadi penganut Katolik yang sangat taat. Tak pernah absen ke Gereja dan tidak pernah lupa membaca Bible setiap harinya. Dia menikmati menjadi wanita Katolik yang religius karena agama ini sangat perhatian pada orang-orang miskin, para lansia yang ditinggalkan anak-anaknya serta orang-orang terpinggirkan yang tidak dianggap oleh masyarakat sekitarnya.
Tapi Allah terlalu mencintainya untuk tersesat terlalu lama.
Bermula dari pernikahannya dengan seorang pria lulusan Sekolah Pastur, hidupnya yang semula mulus berbalik haluan menjadi penuh badai. Karena di mata suaminya dia hanyalah perempuan bodoh yang secara intelektual tidak setara dengannya. Latar belakangnya sebagai keluarga miskin dianggapnya tidak sesuai dengan penampilannya yang cantik dan anggun bak artis sinetron.
Saat itulah kekerasan demi kekerasan menimpanya. Bukan kekerasan fisik memang, tapi kata-kata yang merendahkan, hinaan terhadap diri dan keluarga yang didengarnya setiap hari membuat dia tak tahan lagi. Belum lagi nafkah yang tidak tentu datangnya, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan putri kecilnya. Bahkan untuk ukuran orang-orang yang tinggal di desa.
Bayangkan anda punya ketrampilan dan potensi, banyak institusi menerima anda dengan tangan terbuka. Tapi anda adalah istri yang taat dan setia, yang harus menuruti apapun kata suami. Sayang sekali suami anda yang abusif tidak rela anda bekerja, sehingga anda harus tergantung pada belas kasihannya yang nyaris tidak ada. Untungnya Winarti adalah penganut Katolik yang taat. Tak pernah putus dia berdoa, semoga Tuhan melembutkan hati suaminya. Dia ingin sekali bahagia bersama suami dan putri cantiknya.
Sayang Tuhan tak kunjung mengabulkan doanya. Meski setiap malam menangis sambil mendekap Injil di dadanya. Menangis karena diperlakukan buruk oleh suaminya, menangis karena keluarga besarnya mengetahui semua, menangis karena orang-orang seluruh kampung mengetahui segala penderitaannya dan menghakimi segala kesalahannya.
Saat seperti itulah keluarga akan penuh dengan intervensi. Tak terkecuali keluarga Winarti.
Sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarga ini, dia adalah kesayangan orang tua. Dan melihat anaknya mendapat perlakuan hina dari suaminya tentulah sangat menyakitkan.Orang tuanya berusaha membantunya mencarikan solusi. Solusi supaya terlepas dari jeratan suami jarak jauhnya yang hanya bisa menengok sesekali. Solusi supaya anaknya yang masih kecil terjamin pasokan susu dan pakaian serta pendidikannya di masa depan. Dan semua itu butuh uang.Dan di desa kami, jalan paling singkat untuk mendapatkan uang banyak adalah pergi ke luar negeri. Alias menjadi TKW. Pekerjaan yang tak pernah terpikir untuk dijalaninya karena dia harus mengasuh anaknya yang masih balita, dan sangat tergantung padanya. Tak akan pernah terbayang di benaknya bahwa suatu saat dia akan meninggalkan anak bayinya, menyerahkan pengasuhan pada orang tua demi berburu dolar di negeri orang. Seperti yang dilakukan para tetangganya selama ini.
Berulangkali dibujuknya suami untuk mengijinkannya tinggal di Surabaya bersamanya. Sehingga terlepas dari komentar negatif para kerabatnya. Sang suami yang egois tidak mau memenuhi permintaannya, dan tetap memaksanya tinggal bersama orang tua. Ketika itulah segalanya tersa buntu baginya. Tak ada jalan lain kecuali memenuhi tuntutan keluarga, mencari nafkah sendiri demi anaknya. Meski itu artinya harus menghamba di negeri orang. Di Hongkong tepatnya.
Allah terlalu mencintainya
Karena ketika jarak memisahkannya kita bisa berpikir secara jernih dan tenang. Kini sadarlah dia bahwa pernikahan yang semula diyakininya untuk selamanya - meski penuh kekerasan - kini diambang kehancuran. Dan dialah yang harus mengakhirinya, demi dia dan juga anaknya.
Tapi perceraian versi Katolik tidaklah semudah percerian dalam Islam. Apalagi suaminya tidak menyetujui percerian itu meski sudah sepakat untuk "Hidup sendiri-sendiri" dan erlepas tangan dalam mengasuh anaknya. Tapi perceraianlah yang mengangkat bebannya. Kini dia bisa bernafas lebih bebas, bisa mengirimkan uang secara rutin untuk anak dan ibunya dan membangun kembali kepercayaan dirinya yang telah lama hilang.
Dan di Hongkong pulalah Allah mempertemukannya dengan orang-orang Turki yang taat Islamnya. Mereka menjalin persahabatan disana. Apalagi ketika tahu keislamannya di masa kecil dan alsannya berpindah agama. Merekalah yang lantas mengajaknya kembali ke Masjid, menghadiri kajian Islam dan membantu memantabkan hatinya untuk kembali ke pangkuan Rabbnya.
Sekarang Monica Winarti sedang dalam proses kembali membangun hidupnya. Kembali lagi menjalankan ritual Islam sebagaimana yang dilakukannya di masa kecil. Menjalankan sholat, puasa dan mulai belajar mengaji ditengah kesibukannya bekerja merawat lansia di sana.
Semoga istiqamah kawan. Dan semoga kebahagiaan itu semakin didekatkan #wink
PR besar bagi umat islam. Tawaran2 pendidikan gratis bahkan sembako bisa dengan mudah membuat seseorang melepaskan imaannya. Astaghfirullaah...
BalasHapusAlhamdulillaah untuk mba monika dan semoga kita semua diberi keistiqomahan dalam islam
Betul, di desa saya cukup banyak kasus seperti ini. Butuh kepedulian semua orang memang. Dan kita nggak bisa menyalahkan mereka begitu saja.
BalasHapusSubhanallah, speecless saya, semoga tetap istiqomah dengan imannya.
BalasHapusJuhad ekonomi bagi semua umat Islam
Amiin, semoga kita bisa menmberikan pendidikan yang terbaik buat anak-anak kita.
BalasHapusSemoga tetap terus berada dijalanNya.. Kita semua juga mari terus memperbaiki diri.
BalasHapusSalam kenal mbak..
theamazingjasmi.com
sALAM KENAL KEMBALI mBAK jASMI. Semoga istiqamah
BalasHapusalhamdulillah mbak winarti bisa kembali ke pangkuan Islam.. moga istiqamah amin
BalasHapusAmiin, terimakasih doanya, Mbak Eva.
BalasHapus