Saya mengenalnya belum lama, belum sampai setahun. Setelah KMNR 12 tahun lalu persisnya, ketika anak kami sama-sama memperoleh medali emas di level yang sama: kelas 3. Bedanya anak saya, Una, meraih emas kedua, sedangkan anak beliau, Rafa, memperoleh emas pertama dan berhak mendapatkan gelar best of the best untuk kelas 3. Dan saat itu baru kami tahu bahwa kedua anak kami selama ini selalu bersaing ketat di setiap olimpiade matematika, terutama di Jawa Timur. Hingga saat ini kedua anak kami saling menyalip, saling mengalahkan dan saling bersaing di setiap lomba.
Tapi kami berdua beruntung. Persaingan kami hanya di batas olimpiade saja. Jadi saat mereka berdua berlaga dengan sengit, kami ibunya menunggu di luar ruangan, sambil ngobrol ngalor ngidul bertema apa saja. Bahkan ada saatnya kami, ibu-ibu dari peserta olimpiade yang berasal dari Surabaya, Blitar, Kediri, Tuban, Lumajang, Jember dan Malang ngumpul bersama, bercanda, berdebat dan berdiskusi dengan serunya. Sebagai induk kitten, bersosialisasi dengan ibu-ibu cerdas dari seluruh penjuru Jawa Timur benar-benar menginspirasi dan menyegarkan.
Tapi Mbak Etty, panggilan akrab Mama Arafa ini lain dari yang lain. Pertama karena beliau memiliki anak yang sangat istimewa. Tanpa tanda petik tentu saja. Dia baru kelas 4, tapi kemampuannya sudah jauh melampaui senior-seniornya. Setiap kali mengikuti pelatihan olimpiade di Rumah Bobo, dia akan selalu ditempatkan bersama anak-anak kelas 5 dan kelas 6. Itupun dia tak pernah ketinggalan materi pelajaran. Maka tak heran medali medali emas KMNR berhasil digondolnya dua tahun belakangan ini. Tentu saja itu belum termasuk penghargaan tingkat Jawa Timur maupun tingkat internasional lainnya, dimana rata-rata dia mendapatkan medali emas.
Kadang banyak pihak yang membayangkan betapa enaknya memiliki anak cerdas seperti Rafa ini. Kadang kecemerlangan seorang anak sanggup mengundang decak kagum di sana-sini, tapi tak lupa juga mengundang rasa iri bahkan dengki. Dan bisa dibilang Mbak Etty sudah melawati semua itu bertahun-tahun belakangan ini. Di kotanya, namanya sering membuat keder para peserta lain, karena kemampuannya jauh di atas teman-temannya. Di satu sisi hal itu sudah pasti sangat membahagiakan, disisi lain juga mengundang kemarahan bagi ibu-ibu yang merasa anaknya tersingkirkan.
Rafa anak istimewa, karena tingkat kecerdasannya jauh di atas rata-rata temannya. Tapi merawat Rafa tidaklah selempeng merawat anak-anak kita yang kecerdasannya normal-normal saja, sesekali menang lomba atau juara kelas misalnya. Karena selain dikaruniai kecerdasan yang tinggi, Allah juga memberi cobaan lain: Kekurangmampuannya mengelola emosi. Jika kita menjumpai anak-anak berkebutuhan khusus yang rentang waktu konsentrasinya sangat pendek, atau anak-anak yang cenderung melukai orang lain ketika merasa terganggu, atau sangat self centre dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar, Rafa cenderung tantrum dan ngomel ketika merasa tersinggung atau diperlakukan tidak adil. Alhamdulillah tidak pernah berkelahi secara fisik memang, tapi tantrumnya membuat dia kesulitan berinteraksi dengan teman-teman lainnya, termasuk juga berinteraksi dengan guru-gurunya.
Orang Tua Rafa harus menerima kenyataan ketika harus pindah sekolah berkali-kali, karena perilaku anaknya menyulitkan banyak orang. Ibunya juga harus ikhlas mengawal Rafa pada setiap lomba, karena tidak mungkin menitipkan Rafa pada guru pendamping ataupun wali murid. Kondisi emosi yang labil ini juga masih ditambah dengan daya tahan tubuhnya yang kurang karena alergi, sehingga harus sering absen mengikuti lomba, terutama untuk lomba-lomba yang jauh dari kota.
Seringkali mendapat kesulitan bergaul dengan teman karena emosinya tidak berarti Rafa sama sekali tidak punya teman. Anak kami, Faiz, sangat menyukai Rafa karena kecintaan mereka pada SAINS. Tak jarang kami mendapati mereka berdua ngikik bersama saat bermain di sela-sela lomba. Entah kenapa keduanya sangat klik selama ini.
Padahal dimana-mana olimpiade sangat menguras tenaga.Tak jarang seorang anak harus berangkat sore, menginap, besoknya lomba kemudian langsung pulang. Sampai di rumah sudah lewat tengah malam. Kadang si anak harus berangkat pagi-pagi benar habis subuh, dan kembali pulang jam 3 pagi keesokan harinya. Belum lagi jika perlombaan itu berlangsung secara beruntun, dari satu kota ke kota lainnya. Benar-benar menguras emosi dan stamina, baik buat anak maupun orang tua.
Jadi bayangkan besarnya tantangan Mbak Etty ketika harus membujuk anaknya yang tantrum karena kecapekan tapi masih harus mengikuti tahapan lomba berikutnya. Bukannya memaksa anak sih, karena Rafa sendiri sangat menikmati olimpiade. Tapi ketika ada hal-hal yang tidak berkenan di hatinya, dan kemudian marah-marah di depan umum, bayangkan saja betapa malunya. Apalagi diantara sekian banyak orang disana, tidak semuanya tahu dan maklum dengan keadaan anak supercerdas ini.
Disinilah kadang kita harus benar-benar bisa meraba kehendak Ilahi. Banyak sekali orang-orang yang diberi nikmat berupa ujian berat, karena Allah tahu itu akan membuatnya semakin tangguh, semakin bersabar dan bersyukur. Allah tidak hendak menghinakan umatnya dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Tapi berdasarkan pengalaman justru orang-orang tua seperti inilah yang pada akhirnya ditinggikan derajadnya karena ketangguhan, kesabaran dan rasa syukurnya.
Alhamdulillah saya diberkahi dengan nikmat berupa persahabatan dengan ibu-ibu superstrong macam Mama Rafa ini. Dibalik tutur katanya yang lembut, tak pernah meninggikan suara, dan segala keramahan dan kebaikannya pada siapa saja, tersimpan jiwa yang tangguh karena ditempa lingkungan yang lebih sering meremehkan dan mengucilkan putranya. Sikap yang sebenarnya sering didorong oleh rasa iri dan dengki tanpa alasan yang pasti.
Sebenarnya Rafa tidak sendiri. Banyak saya menjumpai anak-anak berkebutuhan khusus dengan kecerdasan sangat tinggi dan secara konnsisten berhasil membuktikan dirinya berprestasi. Yang menjadi PR adalah bagaimana mengedukasi masyarakat untuk menerima anak-anak ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Termasuk memberikan pengertian pada teman-teman sekolahnya akan kondisi temannya, sehingga mereka paham akan situasi yang ada. Dengan demikian orang tua merasa tidak sendiri, ada dukungan dari sana-sini supaya terus berjuang demi anak-anaknya.
Jadi kalau anda ingin melihat sosok ibu pendidik, lihatlah bagaimana perjuangannya demi buah hatinya. Terutama ketika dia dikaruniai kesempitan berupa anak-anak yang membutuhkan perawatan ekstra. Lihatlah bagaimana kesabarannya, pengorbanannya, rasa sakitnya sekaligus kesediaannya untuk berbagi dengan teman-teman senasib. Bisa jadi kita memandang sebelah mata saja, padahal mungkin saja itu ladang amal yang disediakan Allah untuk meninggikan derajadnya diantara sesama manusia.